Filosofi Sepi dan Secangkir Kopi - INIRUMAHPINTAR.com

Filosofi Sepi dan Secangkir Kopi

INIRUMAHPINTAR.COM - Terkadang ada yang bertanya, mengapa ia merasa sepi, padahal ia berada di tengah keramaian. Apakah memang betul, sepi itu hanya dirasakan ketika berada di tempat sepi? Nyatanya tidak. Sepi adalah produk dari perasaan. Sepi bukan hanya bermakna suasana. Sepi datang kapanpun dan dimana pun, entah kamu sendirian, atau berada di tengah keramaian.

Sepi hampir sama dengan secangkir kopi, terkadang terasa manis, di lain waktu terasa pahit, bergantung kadar gula yang diaduk bersamanya. 

Sepi bersemayam tanpa mengenal gender, usia, jabatan, kekayaan atau tingkat intelektual. 

Begitu pun kopi, ia bebas menjadi pemantik inspirasi siapa saja, tanpa memandang segala perbedaan.

Dua Sisi Pemaknaan "Sepi"

Sepi, dapat menjadi pilihan seseorang. Ia menepikan dirinya dari keramaian, menyendiri, merefleksi diri, sembari membenahi kekurangan, merajut kembali kekuatan, dan menghujamkan pilar-pilar 'reborn' dari ketidakberdayaan lika-liku kehidupan yang dijalani.

Filosofi Sepi dan Secangkir Kopi


Di sisi lain, sepi adalah konsekuensi dari keputusan yang keliru. Tercipta karena adanya 'action' sebelumnya yang tidak berjalan sesuai koridor kepantasan atau kelayakan.

Yang Aku Rasa Kini

Kedua pemaknaan sepi di atas berkumpul menjadi sebuah makhluk yang bersemayam dalam perasaanku.

Aku merasa sepi, benar karena pilihanku.

Aku juga merasa sepi, karena pilihanku tersebut ternyata keliru.

Aku salah mengambil langkah.

Seharusnya bukan secangkir kopi yang kunikmati, karena sejatinya aku bukan penikmat kopi.

Aku hanyalah peminum kopi sekali-kali.

Namun, sekali minum kopi langsung jatuh hati.

Sayangnya, yang kuharapkan pada kopi, tidaklah terjadi.

Antara Kebetulan atau Kenyataan

Sepi dan kopi menjadi dua simbol semiotika bagi perjalananku.

Sedianya sepi yang kurencanakan sementara, tidaklah benar-benar menjadikanku kuat menghadapi kenyataan.

Aku merasa masih tertinggal oleh kenyataan.

Kebetulan dan kenyataanku bagaikan penanda dan petanda yang belum bisa bersatu sebagai dua variabel terikat.

Kedua unsur itu belum menyatu, belum kompak, hanya karena indikator kelayakan yang belum sama.

Nilai Lebih Berharga dari Wujud

Sedari dulu aku berproses dan fokus untuk membangun 'wujud' karena menurutku wujud sudah pasti bernilai.

Dunia berubah, 'wujud' ternyata bagi sebagian orang masih belum sebanding dengan 'nilai'.

Hasilnya, kini Aku terjebak dalam sepi layaknya secangkir kopi, nikmat bagi penikmatnya, biasa-biasa saja bagi penikmat yang lain.

Yang Kutakutkan

Aku menjaga filosofiku, meski tak selamanya sama dengan filosofi rupa-rupa makhluk berakal lainnya.

Aku masih menjaga perasaanku, sepiku, demi duniaku dan tujuan akhiratku.

Yang kutakutkan, aku terperosok pada dominansi logikaku yang masih belum kudahulukan demi menjaga wujudku tetap bernilai.

Semoga sepi ini hanyalah proses singkat, bukan tujuan akhir. 

Harapku, orang-orang yang kucintai segera menyelaraskan ritme agar senada.

Di sini, aku masih menunggu seraya menyeka air mata.



No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!