Kisah Berakhirnya Kisah Tikus Rakus dan Kembalinya Damai Petani - INIRUMAHPINTAR.com

Kisah Berakhirnya Kisah Tikus Rakus dan Kembalinya Damai Petani

INIRUMAHPINTAR.COM - (7-11-2021) Sawah ini dulu subur. Padi tumbuh begitu gembur. Dua tiga kali setahun, petani panen teratur. Meski keringat deras mengucur, hati tenang tak pernah hancur. Kini, semua berbeda. Musim berganti, tanah makin terkoyak. Mesin-mesin tua menggantikan kuda besi yang ramah. Tanah hitam berhumus ditaburi kristal-kristal tipu muslihat. Sekejap berubah menjadi ladang-ladang keropos. Di sekelilingnya berlubang, menjadi istana tikus-tikus berkepala ekor. Lubang ditutup, esok tergali lubang baru. Tulang-tulang petani makin terkikis. Tidak lagi mampu mengayunkan cangkul-cangkul keceriaan. Sementara sang tikus makin gemuk. Bahkan kini ia makin giat menggertak. 

Bagaimana Kelanjutannya?

Putus asa?

Apakah mesti berakhir dengan menyerah?

Tentu tidak.

Petani-petani tidak boleh kalah oleh tikus-tikus bemulut nanah.

Meski cuap-cuap hama penggilas tanah ini menggila, menyerang sana sini. Bukan berarti, petani berhenti sampai di sini. Selama masih ada darah mengalir di badan, kebangkitan tak pernah luluh. Selama nafas masih berhembus, suara kebenaran tiada henti mengakar dan silih berganti menggetarkan langit. 

Memang, tidak semudah dahulu.



Tikus-tikus kini makin rakus, meradang tak pandang segan dan sopan. Lebih berani melawan, pura-pura berkawan lalu melawan, pura-pura merangkul tetapi nyatanya memukul. 

Sawah-sawah lumpuh. Kering layaknya kantong buruh di akhir bulan

Tulang-tulang makin rapuh. Lunglai bagai yatim piatu yang baru kehilangan

Yang tersisa hanyalah suara-suara tak bersuara.

Langkah-langkah kaki yang tak melangkah.

Dan jentik jemari yang tak berjari,

dibarengi tatapan yang tak menatap.

Masih bisa, peduli meski secuil bisa, bisa yang tak lagi berbisa, merangkai  anak-anak sawah tak berdosa, berbajukan kaos partai tak terpakai, dibaluri air mata terakhir yang telah berdarah.

Seraya memanggil dengan suara kecil yang paling besar.

Meneriakkan harapan yang telah lupa berharap.

Mengirimkan doa di tengah sayup-sayup katak, yang beralih profesi menjadi penagih pajak.

Bersekutu meremukkan ketangguhan sawah-sawah petani biasa tak berkuasa.

Sungguh,

Jangkrik-jangkrik pun ikut-ikutan menghakimi tanpa mengadili.

Bersahut-sahutan menghasut tanpa menahan diri.

Kapan ini berhenti? Mengapa kita saling menyakiti?

Bukankah dahulu di sawah ini semua makhluk panen bersama.

Petani meraup keberkahan padi, saling berbagi, merangkul damai.

Hanya doa terpendam terpancar agar dendam tenggelam.

Kuasa manusia terbatas, ketika semua terlihat tidak semestinya, biarlah kuasa Tuhan menentukan.

Petani diam membisu, hanya mampu mengernyitkan dahi, memandang sang raja tikus di seberang pematang, mengasah gigi siap mengeroyok padi yang mulai menguning. 

Yah, kemarin tikus menang, petani malang.

Tetapi hari ini, dunia berbalik arah. 

Di tengah gelap malam, hujan deras mengguyur, menyapu bersih lubang-lubang tikus, menghanyutkan hama tak tersisa. Menyisakan sawah siap panen esok hari. 

Pagi ini, langit berpelangi menyambut riang gembira keluarga petani. Bersiap memanen jerih payah penuh syukur. 

Beginilah akhir cerita tikus-tikus rakus, lubang yang digali ternyata kuburannya sendiri. 

(AY- Berakhirnya Kisah Sang Tikus)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!