Ini Bahayanya Jika Guru Honorer Diangkat CPNS Tanpa Seleksi - INIRUMAHPINTAR.com

Ini Bahayanya Jika Guru Honorer Diangkat CPNS Tanpa Seleksi

INIRUMAHPINTAR - Kabar baru menyebutkan bahwa tahun ini pemerintah akan mengangkat tenaga honorer menjadi CPNS. Sungguh kabar ini sangat menggembirakan bagi mereka yang telah lama mengabdi dan bekerja di instansi mereka dengan atau tanpa gaji memadai. Tidak lama lagi mereka akan naik tahta menjadi CPNS, memperoleh gaji bulanan dan tunjangan pensiun.

Yah, menjadi CPNS memang menjadi impian banyak orang. Terbukti, dalam setiap perhelatan akbar seleksi CPNS, peserta yang mendaftar sangat besar.

Tidak ada yang salah. Semua orang berhak mengejar impian dan cita-citanya.

Yang berhasil lulus kemudian bekerja dan mengabdi sesuai bidang yang digelutinya. Namun yang gagal, termasuk para sarjana baru yang masih hijau, sebagian memilih melamar pekerjaan di instansi swasta dan sisanya mendaftar sebagai tenaga honorer atau tenaga sukarela.

Oke. Kita fokus pada tenaga honorer yang telah mengabdi, baik baru sehari, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun. Apa jadinya jika mereka diangkat menjadi CPNS?

Pegawai Honorer

Perlu kita telaah dulu. Honorer ada dua, yakni mereka yang mengabdi di kepegawaian dan mereka yang mengabdi di sekolah (guru).

Honorer yang mengabdi di kepegawaian menurut saya tidak ada masalah jika mereka diangkat menjadi CPNS dengan atau tanpa seleksi. Malah lebih cepat lebih baik. Pasalnya, dalam menjalani pekerjaan dan tugas sehari-hari, terutama dalam urusan administrasi dan perkantoran, tenaga honorer yang umumnya masih muda memiliki proses adaptasi yang lebih cepat.

Apalagi jika mereka telah lebih dulu terampil dalam mengoperasikan program-program komputer, seperti Microsoft Office dan Email. Mereka bisa bekerja sambil belajar.

Guru Honorer

 http://www.inirumahpintar.com/2018/02/ini-bahayanya-jika-guru-honorer-diangkat-cpns-tanpa-seleksi.html
Berbeda dengan honorer yang bekerja di kepegawaian, honorer yang mengabdi sebagai guru di lingkup pendidikan, seperti sekolah, menurut saya perlu pertimbangan mendalam, andai mereka mau diangkat menjadi CPNS tahun ini.

Guru memiliki peran vital. Generasi bangsa bergantung di tangan mereka. Tanpa profesionalisme, integritas, dan keteladanan, mustahil mereka dapat menjalankan tugas keguruan secara maksimal.

Guru bukan hanya dituntut bisa mengajar, tetapi mesti ahli pada mata pelajaran yang diampuh. Jika tidak, mereka akan menularkan kebodohan.

Guru bukan hanya diwajibkan bisa menjelaskan, tetapi mesti ahli bagaimana menyiapkan pembelajaran yang berkualitas, menarik, sekaligus menyenangkan. Jika tidak, mereka akan menghambat kreativitas dan potensi peserta didik.

Guru bukan hanya diharuskan bisa mendidik, tetapi wajib terlebih dahulu mempraktikkan, menjadi figur spesial, tokoh teladan, terutama dalam menjalankan nilai-nilai karakter dan moral. Jika tidak, mereka akan kehilangan kewibawaan dan penghormatan dari peserta didik.

Guru bahkan bukan hanya diwajibkan bisa mengetik, tetapi mesti ahli menggunakan teknologi terutama dalam menjalankan fungsi administatif -nya, termasuk dalam menyediakan media pembelajaran interaktif bin modern agar mereka bisa menyamakan ritme dengan generasi millenial yang tampaknya butuh tenaga ekstra untuk dididik dan diarahkan.

Dengan adanya satu paket kompetensi dan kinerja yang mumpuni tersebut, barulah guru dapat dikatakan sebagai sebenar-benarnya guru.

Polemik Pengangkatan Guru Honorer Menjadi CPNS

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah syarat-syarat kepantasan yang disebutkan di atas bisa tercapai hanya dengan mengangkat guru honorer biasa menjadi CPNS secara langsung tanpa tes atau melalui seleksi yang profesional dan independen?

Tentu sulit bukan. Atau bahkan tidak mungkin.

Oleh karena itu, dalam rangka mempercepat reformasi guru di Indonesia di tahun 2018, dan sejalan dengan program pemerintah, sebagaimana yang baru saja diumumkan Wapres Jusuf Kalla, pengangkatan tenaga honorer, khususnya untuk profesi guru, barulah ideal jika melalui tahapan seleksi.

Tentu bukan rahasia umum, kebanyakan guru honorer diangkat oleh pihak sekolah atau dinas pendidikan tanpa tes yang berarti. Walaupun tidak semuanya setengah matang dalam kinerja dan kompetensi, saya mendapati di berbagai forum dimana sejumlah siswa mengeluh karena guru mereka yang berstatus honorer kurang kompeten menyajikan pelajaran, bahkan ada yang sampai melakukan tindakan kurang menyenangkan tetapi takut dan enggan melapor. Maukah kita mempercayakan generasi masa depan Indonesia seperti itu? Tentu tidak bukan.

Jadi, sebagai kesimpulan, demi mewujudkan visi misi pendidikan nasional yang lebih baik, mengapa Indonesia tidak memilih figur-figur terbaik bangsa ini melalui seleksi yang kompeten dan independen.

Dalam hal ini, baik guru honorer maupun alumni-alumni terbaik di seluruh pelosok negeri wajib mengikuti rangkaian seleksi yang ketat. Bukan melalui pengangkatan langsung tanpa tes.

Teknisnya, biarlah pemerintah yang menetapkan cara terbaik. Yang terpenting adalah memilih figur-figur terbaik untuk menjadi guru generasi Indonesia adalah kewajiban bangsa ini. Hanya dengan cara seperti itu, kurikulum 2013 atau semacamnya di masa depan dapat mampu dijalankan dengan optimal.

Sama halnya di sepak bola, hanya pelatih terbaik yang mampu mengantarkan anak asuhnya rendah hati ketika meraih kemenangan dan tidak mudah putus asa ketika menerima kekalahan.

Janganlah kita memaksakan mesin tua mengayuh sepeda dengan cepat di jalanan mendaki. Mana mungkin guru-guru rekrutan tahun 80-an dituntut menggunakan pembelajaran digital ala K-13 sementara realitanya, maaf, berlama-lama di depan laptop saja mereka tidak sanggup.

Semoga iktikad baik dalam tulisan ini dapat terwujud, insya Allah. 

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!